Jakarta, TERBITINDO.COM – Bonus demografi kerap dianggap sebagai berkah bagi Indonesia.
Namun, Anies Baswedan mengingatkan bahwa di balik angka-angka menggembirakan itu, tersembunyi kenyataan yang jauh dari ideal: generasi muda yang lelah, terbebani, dan kehilangan arah.
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, angkat bicara mengenai isu bonus demografi yang ramai diperbincangkan usai disinggung oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dalam pandangannya, anggapan bahwa bonus demografi otomatis menghadirkan keuntungan adalah sebuah kekeliruan yang perlu diluruskan.
Anies mengibaratkan bahwa saat ini waktu sedang memberikan Indonesia peluang emas. Negara ini tengah berada dalam masa langka, di mana jumlah penduduk usia produktif mencapai puncaknya, menciptakan harapan besar akan masa depan yang cerah.
“Di mana jumlah penduduk usia produktif berada di puncaknya, membuka harapan besar akan masa depan yang cerah,” ujar Anies melalui akun X @aniesbaswedan (21/4/2025).
Meski angka statistik terlihat menjanjikan, Anies menyoroti tantangan mendasar yang jarang mendapat perhatian serius.
Ia mengingatkan bahwa kehadiran generasi usia produktif tidak serta-merta menjamin produktivitas.
“Sering kita anggap bonus demografi sebagai berkah otomatis. Seolah hadirnya usia produktif berarti kesejahteraan akan datang dengan sendirinya. Tapi usia produktif tak selalu berarti produktivitas. Yang terlihat adalah angka, yang tersembunyi adalah kelelahan kolektif,” katanya.
Menurut Anies, generasi muda kini hidup dalam tekanan yang kompleks: dituntut untuk cepat sukses, mandiri secara finansial, dan beradaptasi dengan dunia kerja yang keras. Namun di balik itu semua, mereka kekurangan ruang untuk bernapas.
“Mereka bukan hanya generasi yang tangguh, tapi generasi yang sibuk, dan generasi yang letih,” ucapnya.
Di balik semangat dan potensi, banyak anak muda terjebak dalam tekanan mental, krisis identitas, hingga gangguan psikis yang tidak terlihat dari luar.
Dunia kerja yang serba cepat menuntut hasil instan, tanpa memberikan jaminan emosional maupun kestabilan jangka panjang.
“Ini bukan bonus, tapi beban,” tegas Anies.
Anies juga menyoroti perbedaan cara pandang yang semakin lebar antara generasi muda dan generasi sebelumnya.
Saat anak muda mendambakan ruang kolaboratif dan inovatif, generasi lama masih bertahan pada pendekatan konservatif.
“Ketika ide-ide segar dan aspirasi terhenti di meja birokrasi, bukan hanya gagasan yang mati, tapi juga semangat untuk percaya,” ujarnya.
Fenomena urbanisasi menjadi perhatian berikutnya. Anies menyatakan, desa dan kota kecil mulai kehilangan generasi mudanya. Di sisi lain, kota besar berkembang tanpa arah yang jelas.
Tanpa perencanaan matang, urbanisasi justru membawa beban baru: infrastruktur yang kewalahan, pelayanan publik yang macet, hingga krisis perumahan.
“Yang tumbuh bukan kota-kota penuh harapan melainkan wajah baru ketimpangan,” ungkap Anies.
Anies menutup pernyataannya dengan menyoroti pekerjaan informal yang mendominasi lapangan kerja anak muda.
Meski secara statistik mereka terlihat bekerja, kenyataannya mereka hidup dalam ketidakpastian dan tanpa perlindungan sosial.
“Disebut aktif, tapi sejatinya rapuh,” pungkasnya. (Tere)