Jakarta, TERBITINDO.COM – Juventus Prima Yoris Kago harus menanggung beban berat di awal kepemimpinannya sebagai Bupati Sikka. Berbagai persoalan yang dilakukan pemerintahan lama akhirnya harus ditanggung dengan langkah terseok-seok. Di saat-saat seperti ini, mimpi mewujudkan “Maumere Baru” rasanya terlampau idealis untuk tidak menyebutnya “kesiangan”.
Di usia kepemimpinan yang baru mencapai dua bulan 10 hari, Jipyk, demikian ia akrab disapa harus berhadapan dengan fakta pilu tentang kematian 5 orang pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) TC Hillers Maumere. Umumnya, mereka adalah ibu hamil yang tak tertolong karena ketiadaan dokter anestesi.
Persoalan tersebut tentu tak bisa dibiarkan. Meski dua dokter anestesi atas nama dr. Remidazon Rudolfus Riba dan dr, Yosefin Erfleniati Jati telah kembali bertugas sejak Senin (14/04/2025), TC Hillers tetaplah “killer”. Ia menyimpan banyak tanda tanya terkait manejerial, beban kerja, sistem insentif dan sejumput persoalan serupa.
Lantas pertanyaannya: apa yang harus dilakukan Jipyk di awal masa pemerintahannya? Apa strategi konkret yang dapat dibuat untuk meminimalisir peristiwa serupa di masa depan? Haruskah “Maumere Baru” diisi “pemain-pemain lama”?
Ulasan remeh temeh ini berangkat dari peristiwa kematian yang dialami seorang ibu di RSUD TC. Hillers beberapa hari lalu. Selanjutnya, saya akan membeberkan pertanggungjawaban pihak RSUD yang diwakili oleh dr. Clara Francis selaku direktur umum (Dirut). Terakhir, saya akan menguaraikan dua langkah praktis yang perlu dibuat Bupati Sikka untuk menjegal timbulnya “benih penyakit” serupa di masa depan.
TC Hillers yang Killer
Seorang ibu hamil bernama Maria Yunita harus menjumpai ajalnya di RSUD TC Hillers pada Rabu (09/04/2025) sekira pukul 23.00 WITA. Rumah Sakit yang harusnya memberi jalan keluar saat sakit ternyata berbalik arah memperpendek usia ibu itu bersama anaknya.
Yanto Gonde, salah satu keluarga korban, mengisahkan bahwa pasien awalnya dilarikan ke Puskesmas Beru pada Rabu pagi. Namun pada sore hari, kondisi korban yang mengalami sesak napas membuat pihak puskesmas memutuskan untuk merujuknya ke RSUD Maumere.
“Sekarang tinggal mau dianestesi. Pertama katanya mau dibawa ke RS Larantuka, kami sudah bersiap, tetapi ditunda lagi. Mau dirujuk ke Bajawa, kemudian mau ke RS Lembata lagi, ditunda lagi. Kemudian, maunya ke RS Kewapante. Di RS Kewapante, dokter mengatakan bahwa fasilitasnya tidak memadai. Saat di RS TC Hillers, pasien sempat dipasang oksigen, namun akhirnya tidak tertolong” ungkap Yanto mengutip Tirto.id, Kamis (10/04/2025).
Ia menceritakan bahwa proses pencarian rumah sakit dengan fasilitas dan dokter anestesi yang memadai memakan waktu cukup lama. Sayangnya, di tengah proses tersebut, nyawa korban tidak berhasil diselamatkan.
“Saya heran RSUD Maumere katanya rumah sakit rujukan se-daratan Flores, tetapi tidak ada dokter anestesi. Kami keluarga sangat kecewa. Sebenarnya pasien masih bisa tertolong hanya karena tidak ada kejelasan mau dirujuk ke mana,” keluhnya penuh kecewa.
Kehilangan dua sosok sekaligus tentu membawa kesedihan mendalam di hati Yanto bersama keluarga. Kelahiran anak yang seharusnya membawa kegembiraan ternyata berakhir miris. Bersama sang ibu yang lelah menahan sakit, bayi suci itu akhirnya meninggal. Paskah tahun ini terasa sangat berat.
Peristiwa ini bukanlah yang pertama. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Petrus Herlemus menerangkan, sebanyak lima pasien dilaporkan meninggal dunia di RSUD TC Hillers sejak Januari 2025.
Sejumlah pasien yang seharusnya menjalani tindakan operasi harus dirujuk ke rumah sakit lain di Pulau Flores yang memiliki dokter anestesi, seperti di Flores Timur, Lembata, Ende, Ngada, dan Nagekeo.
Situasi ini semakin mengkhawatirkan mengingat jumlah ibu hamil di Sikka yang cukup banyak. Petrus mencatat, terdapat setidaknya 62 ibu hamil yang berisiko tinggi. Jika keadaan ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin akan tercipta kejadian serupa di waktu-waktu mendatang. TC Hillers akan tetap “killer”!
Klarifikasi Dirut dan Beberapa Pertanyaan yg Patut Dijawab
Soal kematian Maria Yunita, saya kira ada satu alasan yang sering keluar dari mulut dr. Clara selaku Dirut RSUD TC Hillers, yakni soal pengunduran diri dr. Remidazon Rudolfus Riba dan dr, Yosefin Erfleniati Jati selaku dokter anestesi.
Menurut pihak RSUD, kedua dokter tersebut telah mengundurkan diri sejak Januari 2025 dikarenakan masa kontrak yang telah usai. Hal senada diakui dr. Remidazon yang menyatakan bahwa kontraknya dengan RSUD TC Hillers telah selesai pada 31 Desember 2024.
“Saya tidak lagi memiliki hubungan kerja dengan RS sejak Januari 2025,” katanya sebagaimana dikutip dari Dailyklik, Minggu (20/04/2025).
Ia mengungkapkan bahwa dirinya bersedia melanjutkan kontrak kerja, asalkan dilakukan evaluasi terhadap beban kerja. Namun hingga masa kontrak berakhir, evaluasi yang dijanjikan tak kunjung dilakukan.
“Saya sudah tidak menjadi bagian dari RSUD TC Hillers saat insiden kematian ibu hamil itu terjadi. Jadi saya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas kejadian tersebut. Jangan sembarangan melempar kesalahan,” tegasnya.
Pernyataan dr. Remi beralasan. Sebagai pribadi yang tidak lagi bertugas, tindakan menghibakan kesalahan kepada dirinya tidaklah tepat.
Hal yang justru menjadi pertanyaan adalah mengapa pihak RSUD tidak menghadirkan dokter anestesi sejak kontrak para dokter berakhir. Pertanyaan lain, apa alasan pihak Dirut yang menunda-nunda hadirnya dokter anestesi selama 4 bulan tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, kita mesti memeriksa sejumlah fakta terkait beban kerja yang besar dan pemberian insentif yang tidak adil. Ini bisa jadi alasan terkait kesiapan dokter anestesi untuk bertugas di RSUD TC. Hillers.
Secara umum, kita perlu sepakat bahwa jenis pekerjaan yang “siaga 24 jam” adalah menjadi dokter, apapun itu. Sebagai misal, kalau Anda mau jadi dokter anestesi, Anda harus bersiaga sejak pasien dirujuk. Anda perlu memastikan keadaan pasien beserta bayi yang ada di perutnya. Handphone tidak boleh mati. Tidur tidak boleh terlalu nyenyak. Kalau tiba-tiba ada telepon, Anda harus segera ke Rumah Sakit. Bebannya tentu berat.
Kalau demikian, penghargaan dari pihak RSUD kepada mereka haruslah setara. Gaji mereka harus manusiawi. Ini belum dihitung berapa besar pengeluaran ketika mereka sekolah.
Sebagai gambaran, di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), misalnya biaya S1 Pendidikan Dokter bisa mencapai Rp20 juta per semester. Jika ditotal 8 semester, maka biayanya bisa tembus angka Rp.180 juta. Ini belum dihitung dengan pengeluaran untuk kos, makan dan minum, serta kebutuhan lain. Kasarnya, Anda butuh sekitar Rp.200-300 juta jika ingin menjadi dokter. Karena itu, logisnya, mereka perlu mendapat gaji yang setara dengan pengeluaran dan beban kerja mereka.
Fakta yang berbeda justru terjadi di RSUD TC Hillers di mana dokter anestesi hanya digaji Rp20 juta sebulan. Angka ini jauh dari gaji yang diterima beberapa dokter anestesi seperti yang ada di Borong (Rp50 juta), Rota Ndao (Rp45 juta), Ende dan Nagekeo (Rp40/50 juta) dan seterusnya. Padahal, pemasukan untuk TC Hillers sendiri diperkirakan sekitar Rp60 Miliar dalam setahun.
Lalu, ke mana alokasi uang sebesar itu kalau bukan untuk urusan penggajian, pembenahan infrastruktur dan manejerial Rumah Sakit? Jelas tidak mungkin ke saku dr. Remi dan kawan-kawan perawat. Uang sebesar itu bisa jadi masuk ke saku-saku lain yang you know-lah siapa mereka.
Fenomena Gunung Es
Masalah yang sedang terjadi di RSUD TC. Hillers sesungguhnya merupakan puncak gunung es dari sebongkah “dosa lama” yang bercokol di tubuh para pengurus. Meskipun dr. Clara telah menjelaskan sejumlah langkah konkret yang dilakukan pihak RSUD, saya menilai ada semacam kebohongan yang ditutup-tutupi.
Tata kelola yang tidak beres, komunikasi yang kacau dan pengelolaan keuangan yang tidak transparan adalah sinyalemen kuat bahwa TC. Hillers sesungguhnya sedang tidak baik-baik saja
Terkait hal ini, saya kira kita perlu menengok ke belakang untuk melihat bahwa ada beberapa persoalan yang menganga dalam tubuh manajemen RSUD TC. Hillers sebelum kejadian ini.
Pada tahun 2021 silam, misalnya tersiar kabar adanya kasus korupsi anggaran proyek pengadaan trafo senilai Rp1,8 miliar. Kasus ini diduga kuat melibatkan pejabat tinggi Kabupaten Sikka kala itu yang hingga kini luput dari panggilan pihak kejaksaan. Beberapa saksi yang mengetahui ikhwal kejadian itu masih menjadi “orang-orang penting” RSUD, salah satunya dr. Clara.
Beberapa Minggu sebelum insiden meninggalnya ibu hamil, muncul isu tentang permintaan jatah 1,5 % insentif covid oleh manajemen TC. Hillers. Dengan total dana senilai Rp.8,5 miliar, diperkirakan pihak manajemen akan menerima anggaran sebesar Rp.30 sampai Rp. 100 juta per orang. Akibatnya, dana covid yang seharusnya diterima para tenaga kesehatan (nakes) karena dedikasi mereka, harus dibagi dengan manajemen RSUD. Lagi-lagi, persoalan ini berkaitan erat dengan tata kelola dan transparansi RSUD yang kacau.
Sebagai sebuah RSUD dan RS rujukan, TC. Hillers tidak bisa tetap berada dalam situasi demikian. Kita tidak sedang memelihara penyakit lama untuk menumbuhkan banyak penyakit baru: sakit demi sakit yang lain. Kematian demi kematian baru. Lantas, apa yang harus dilakukan Jipyk selaku Bupati Sikka?
Dua Langkah Praktis
Menjawabi pertanyaan terakhir di atas, Bupati Jipyk harus mengedepankan sikap tegas untuk menata ulang manejerial RSUD TC. Hillers. Kurangi gimmick politik yang sensasional dan coba mulai langkah berani. Saya tawarkan dua strategi yang dapat dilakukan beberapa waktu ke depan.
Pertama, hadirkan tim audit independen untuk memeriksa aliran dana di RSUD TC. Hillers. Cek lagi berapa gaji yang diterima para perawat, dokter umum dan dokter spesialis yang bertugas. Apakah gaji mereka sesuai ketentuan atau tidak. Bila perlu, cek juga apa saja bentuk belanja yang dikeluarkan dan cocokkan dengan kebutuhan di RSUD. Beberapa dugaan soal korupsi pengadaan trafo dan pemotongan dana covid harus diusut tuntas agar tidak menjadi “duri di dalam daging”.
Langkah pertama ini sangat penting untuk membuktikan transparansi keuangan yang diolah pihak manejerial. Ini juga penting untuk memastikan bahwa tata kelola RSUD di bawah kepemimpinan Bupati Jipyk bersih dari dosa-dosa lama yang dilakukan bupati sebelumnya.
Kedua, copot Dirut RSUD dan jajarannya. Beberapa persoalan yang terjadi di TC. Hillers empat tahun terakhir seharusnya menjadi pelajaran bagi Bupati Jipyk untuk mengambil sikap tegas dengan mencopot Dirut RSUD TC. Hillers beserta jajarannya.
Selain berpotensi melanggar ketentuan dalam UU N0. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Dirut dan jajarannya juga lalai dalam menangani persoalan-persoalan yang terjadi. Komunikasi yang buruk dan tata kelola RSUD yang amburadul menjadi bukti bahwa mereka tidak bisa dipertahankan lagi. Kematian ibu hamil beserta bayinya beberapa waktu lalu sudah cukup mendukung tindakan tegas bupati.
Saya kira, masih banyak sosok lain yang bersih dan mau bekerja sama untuk membangun Sikka. Jika Bupati Jipyk mau menorehkan sejarah manis lima tahun mendatang, maka pilihannya mau tak mau harus “bertolak dari dalam”. Bersihkan dahulu semua sistem dan orang-orangnya yang bermasalah, baik yang ada di RSUD maupun di sektor-sektor lain. Dengan cara demikian, maka niat luhur membangun Sikka akan terjawab.
Terakhir, saya ingin mengutip ungkapan Bupati Jipyk saat memimpin Apel Perdana ASN Lingkup Pemerintahan Sikka pada Senin (30/03/2025). Putera kebanggaan Nangarasong itu dengan tegas berteriak “berani bermain api, saya akan hanguskan dan berani bermain air, saya tenggelamkan”. Kini, di hadapan bupati, banyak orang yang telah dan sedang bermain api dan air. Apakah bupati berani menghanguskan dan menenggelamkan mereka?
Selamat bekerja Kaka Jipyk. Lanjutkan hal yang baik. Hanguskan yang berani bermain api. Kami menanti sikap tegasmu!
Oleh: Defri Ngo
Founder PolisLab Institute dan Jurnalis PARBOABOA