Kartini di Era AI: Literasi, Kolaborasi, dan Tantangan Baru Perempuan

by -1876 Views
Kristina Elia Purba

Jakarta, TERBITINDO.COM – Peringatan Hari Kartini setiap 21 April bukan sekadar nostalgia akan sosok perempuan pejuang emansipasi, tetapi menjadi refleksi tajam atas peran perempuan hari ini di tengah derasnya arus teknologi dan media sosial.

Apakah semangat Kartini masih relevan di era kecerdasan buatan? Apakah perempuan masih menjadi penggerak perubahan atau justru terjebak dalam pusaran propaganda digital?

“Habis gelap, terbitlah terang.” Kalimat ini bukan hanya ungkapan puitis, tetapi juga sebuah nyala semangat dari Raden Ajeng Kartini yang dituangkan dalam kumpulan suratnya berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, adaptasi dari bahasa Belanda Door Duisternis tot Licht.

Setiap 21 April, Hari Kartini bukan hanya dirayakan dengan kebaya dan lomba-lomba bernuansa budaya, tetapi seharusnya menjadi momentum untuk merenungi esensi perjuangannya—emansipasi perempuan melalui literasi.

Di masa kolonial, Kartini melawan ketidakadilan dengan membaca dan menulis, memperjuangkan kesetaraan lewat pena.

Kini, semangat itu seharusnya dihidupkan kembali: perempuan perlu mengedepankan literasi sebagai fondasi perjuangan.

Kartini menjadikan tulisan sebagai senjata, namun perempuan masa kini seringkali justru terjebak dalam perangkap media sosial.

Propaganda kecantikan, tuntutan visual, dan standar ideal yang tak realistis perlahan menggerus harkat perempuan.

Teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckman menjelaskan bahwa realitas dibentuk oleh manusia.

Maka ketika media menggambarkan citra perempuan dalam satu versi sempit, masyarakat pun ikut terbentuk dalam persepsi yang salah.

Akibatnya, banyak perempuan merasa harus menyesuaikan diri, atau menjadi korban perundungan.

Padahal, perjuangan emansipasi seharusnya terus menyala lewat semangat membaca, menulis, dan menyuarakan realitas dari sudut pandang perempuan itu sendiri.

AI dan Perempuan

Teknologi AI, yang kini tumbuh sangat cepat sejak dikenalkan oleh John McCarthy, menghadirkan berbagai kemudahan.

Namun, ia juga membawa tantangan baru—terutama bagi perempuan. Salah satunya adalah fenomena deepfake, yang berpotensi mencemari nama baik dan merusak privasi, utamanya di ranah pornografi digital.

Tak hanya itu, bias dalam AI juga menjadi isu serius. Ketika data yang mengisi sistem AI didominasi oleh kelompok tertentu, maka hasilnya pun cenderung berat sebelah.

Jika laki-laki mendominasi sebagai penyedia data, maka analisis AI bisa saja menyudutkan perempuan.

Maka di sinilah literasi menjadi penting—agar perempuan tak sekadar menjadi objek, tapi juga subjek yang ikut membentuk realitas digital.

Ketika Kartini menulis sebagai bentuk perlawanan, saat ini kita justru menyaksikan banyak perempuan yang lebih sibuk menari di media sosial atau saling menjatuhkan.

Budaya membaca dan menulis perlahan memudar, padahal itulah senjata utama Kartini dahulu.

Jika perempuan tidak terlibat aktif dalam produksi pengetahuan digital, jangan heran jika AI dan media menggambarkan mereka secara bias.

Maka, perjuangan emansipasi hari ini harus dimulai dari keberanian untuk menulis, untuk bersuara, dan untuk mewarnai dunia digital dengan perspektif perempuan.

Kolaborasi: Kunci Perjuangan Masa Kini

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan: 36,43 persen adalah kekerasan seksual, disusul kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi.

Angka ini bukan hanya statistik, tapi panggilan untuk bergerak bersama.

Perjuangan perempuan tidak bisa hanya dilakukan secara kompetitif atau individualistik. Kita butuh kolaborasi.

Teknologi bisa menjadi alat pemberdayaan jika digunakan dengan semangat berbagi dan membangun.

Penelitian McKinsey bahkan menyebutkan bahwa kolaborasi bisa meningkatkan produktivitas hingga 25 persen.

Kartini bukanlah sekadar sosok masa lalu. Semangatnya harus terus berkobar, menjadi api yang membakar semangat perempuan masa kini untuk menolak tunduk pada ketidakadilan, dan memilih untuk saling menguatkan dalam membangun masa depan yang lebih setara.

Kristina Elia Purba
(Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI)