Indonesia Darurat Pelecehan Seksual

by -459 Views
Kristina E. Purba
TERBITINDO.COM – Bertoga, berseragam, berbicara atas nama agama dan hukum—mereka tampak terhormat di permukaan.

Tapi siapa sangka, dari balik jabatan dan simbol otoritas itu, tersembunyi wajah gelap kekuasaan yang digunakan untuk memangsa.

Indonesia sedang berada di titik darurat: pelecehan seksual merajalela, dan pelakunya justru mereka yang seharusnya jadi pelindung.

Di atas mimbar, dalam kelas, atau di ruang praktik, gelar dan seragam seharusnya menjadi simbol tanggung jawab.

Tapi akhir-akhir ini, publik dikejutkan oleh rentetan kasus pelecehan seksual yang justru datang dari pemilik kekuasaan itu sendiri.

Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran moral—ini adalah pengkhianatan terhadap amanah publik.

Guru, dosen, kyai, polisi, dokter—semuanya pernah tercatat sebagai pelaku. Mereka memanfaatkan posisi dan pengaruh untuk mencabik hak dan martabat orang lain, terutama yang lebih lemah.

Dalam situasi ini, mereka bukan lagi manusia, melainkan predator yang beroperasi di bawah perlindungan status sosial.

Menurut Komnas Perempuan (2023), kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi kuasa semakin meningkat, terutama di institusi pendidikan dan keagamaan.

Di sini, relasi otoritas dimanfaatkan untuk membungkam korban dan melanggengkan kekerasan.

Sistem yang Membungkam

Apa yang membuat mereka begitu berani? Jawabannya: kekuasaan yang dibungkus impunitas.

Sistem hukum dan institusi sering kali membiarkan mereka tak tersentuh, bahkan cenderung melindungi pelaku demi “nama baik”.

Beberapa kasus mencerminkan betapa darurat situasi ini:

  1. Prof. Edy Meiyanto (UGM): Diberhentikan karena terbukti melecehkan mahasiswi.
  2. Pesantren Jombang: Belasan santriwati dilecehkan oleh seorang kyai.
  3. AKBP Fajar (Ngada): Melecehkan tiga anak di bawah umur.
  4. Dr. Priguna Anugrah (UNPAD): Memperkosa anak pasien di RS Hasan Sadikin.

Menurut LBH APIK (2022), puluhan laporan menyebutkan aparat penegak hukum sebagai pelaku. Ini bukan sekadar soal nafsu.

Ini tentang dominasi. Seperti dikatakan Foucault, kendali atas tubuh orang lain adalah bentuk eksploitasi kekuasaan paling berbahaya.

Komnas Perempuan mencatat bahwa 60% korban pelecehan seksual tidak berani melapor. Bukan karena tidak ingin keadilan, tetapi karena takut pada institusi tempat pelaku berasal.

Ketika pelaku adalah tokoh penting, korban dibungkam dengan stigma, ancaman, bahkan rasa bersalah.

Psikolog Dr. Rosemarie Tong menekankan bahwa pelecehan berbasis kekuasaan merusak jaringan kepercayaan masyarakat.

Jika institusi pendidikan, agama, dan hukum gagal bertindak, maka struktur sosial kita sedang berada di ambang kehancuran moral.

Peran Keluarga

Data INUCEF menunjukkan, satu dari tiga anak di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Orang tua harus hadir sebagai pelindung pertama: buka ruang komunikasi, ajarkan batas tubuh, dan jangan mudah percaya hanya karena seseorang berstatus “terhormat”.

Konvensi Internasional Hak Anak dan UU TPKS menjamin perlindungan maksimal bagi anak.

Maka, penegakan hukum tidak boleh kompromi terhadap pelaku, apalagi jika mereka memiliki kekuasaan. Justru, semakin tinggi jabatan, semakin besar tanggung jawab hukumnya.

Semua lembaga—mulai dari universitas, pesantren, hingga kepolisian—wajib menyediakan sistem pelaporan yang aman.

Reputasi institusi tidak lebih penting dari keselamatan korban. Tanpa langkah nyata, kita hanya memperpanjang impunitas.

Kriminolog Dr. David Garland menyebut kekerasan berbasis kuasa sebagai “kejahatan moral ganda”.

Pelaku tak hanya menyakiti korban, tapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap simbol otoritas. Maka, hukum harus lebih berat, bukan lebih ringan.

Indonesia sedang darurat pelecehan seksual. Diam adalah bentuk pembiaran. Kita semua—masyarakat, institusi, pemerintah, dan keluarga—harus berani menyuarakan, menindak, dan memperbaiki sistem yang rusak ini.

Karena kekuasaan tanpa kontrol hanya melahirkan predator yang merasa dilindungi.

Kristina E. Purba

(Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.