NTT, TERBITINDO.COM – Seruan keadilan dari Forum Perempuan Anak Diaspora NTT menggaung dari Jakarta hingga Kupang.
Kasus pencabulan yang melibatkan mantan Kapolres Ngada bukan hanya membuka luka lama, tapi juga membangkitkan semangat kolektif untuk memperkuat perlindungan anak dan menuntut penegakan hukum yang tegas.
Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, menuai sorotan publik.
Forum Perempuan Anak Diaspora NTT menyuarakan keprihatinan mendalam, menegaskan bahwa isu perlindungan anak harus menjadi agenda utama bangsa.
Dari Jakarta hingga Kupang, mereka menyerukan bahwa keadilan tak boleh hanya menjadi slogan.
Forum Perempuan Anak Diaspora Nusa Tenggara Timur secara resmi meminta Komnas Perempuan dan Komnas HAM untuk mengawal secara ketat proses hukum dalam kasus yang melibatkan perwira tinggi polisi tersebut.
Mindryati Astiningsih Laka Lena, perwakilan forum sekaligus istri Gubernur NTT, menyampaikan bahwa forum telah menjalin komunikasi dengan lembaga-lembaga tersebut demi memastikan proses hukum berjalan secara adil dan transparan.
Dalam kunjungannya ke kantor Komnas HAM, Asti menegaskan pentingnya perlindungan maksimal bagi korban, keluarga korban, serta saksi-saksi dalam kasus ini.
Ia juga menekankan perlunya hukuman berat bagi pelaku, mengingat jabatan dan tanggung jawabnya sebagai aparat penegak hukum.
Penegakan hukum, menurutnya, harus setara dengan besarnya kejahatan yang dilakukan.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menyambut baik langkah forum dan menyatakan kesiapan pihaknya untuk berkoordinasi dengan kepolisian, LPSK, dan Komisi Digitalisasi.
Tujuannya jelas: memastikan perlindungan maksimal bagi korban dan kelanjutan proses hukum yang adil.
Pawai Budaya sebagai Aksi Protes
Sebagai bentuk protes damai dan simbolik, Forum Perempuan Diaspora NTT Jakarta menggelar Pawai Budaya bertema “Menolak Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” saat Car Free Day, Minggu (23/3/2025).
Rute pawai dimulai dari Bundaran HI menuju Sarinah, disertai aksi diam sebagai simbol perlawanan terhadap kekerasan seksual.
Melalui pawai tersebut, forum menyampaikan tuntutan: hukuman maksimal berupa kebiri dan penjara seumur hidup, pemecatan tidak hormat dari institusi kepolisian, serta jaminan perlindungan dan pemulihan bagi korban.
Ketua forum, Sere Aba, menyatakan bahwa aksi ini bertujuan untuk menggugah kesadaran publik bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas.
Tak kurang dari 200 peserta dari berbagai latar belakang diaspora NTT hadir dalam aksi tersebut. Mereka menunjukkan bahwa perjuangan melawan kekerasan seksual bukanlah upaya segelintir orang, tetapi gerakan kolektif yang mengakar pada rasa keadilan dan kemanusiaan.
Kapolda NTT, Irjen Pol Daniel Tahi Monang, mengonfirmasi bahwa proses hukum sedang berlangsung. Berkas perkara atas kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak di Kota Kupang telah diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum. Saat ini, proses penyidikan telah memasuki tahap satu.
NTT dan Ancaman Kekerasan terhadap Anak
Menurut data dari KPAI dan LPSK, NTT merupakan salah satu daerah dengan angka kekerasan terhadap anak yang cukup tinggi.
Sepanjang tahun 2024, tercatat lebih dari 160 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Banyak kasus yang gagal dilanjutkan secara hukum karena minimnya pendampingan, rasa takut korban, atau tekanan sosial yang kuat.
Forum Perempuan Diaspora NTT berharap gerakan ini menjadi pemantik perubahan sistemik, tidak hanya dalam kasus ini, tetapi dalam perlindungan anak secara keseluruhan.
Mereka menyerukan penguatan hukum, pendampingan korban, serta kesadaran kolektif masyarakat untuk tidak lagi menoleransi kekerasan seksual terhadap anak.
“Kami ingin Indonesia menjadi tempat yang aman untuk semua anak. Tak boleh ada lagi pembiaran terhadap pelaku kekerasan, siapapun dia.” pungkas Sere Aba. (Ns)