Jakarta, TERBITINDO.COM – Alih-alih memperbaiki kualitas legislasi, DPR justru makin sering mengulang pola lama: merencanakan pembahasan RUU secara mendadak tanpa partisipasi publik.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) menilai ini sebagai langkah mundur demokrasi dan pelanggaran terhadap prinsip legislasi yang tertib dan transparan.
Pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang menyebut pembahasan RUU baru akan diputuskan setelah masa reses usai, menjadi sorotan berbagai pihak.
FORMAPPI menilai hal ini menunjukkan carut-marutnya perencanaan legislasi di DPR. Bagaimana mungkin rencana kerja dibicarakan saat masa sidang sudah berjalan?
Pola kerja mendadak seperti ini dinilai menjadi penyebab utama rendahnya kualitas dan kuantitas produk legislasi DPR selama ini.
Ketika rencana kerja dibuat mendadak, partisipasi publik otomatis terabaikan sejak awal. Padahal, seharusnya publik sudah dilibatkan sejak tahap perencanaan.
Pola tertutup ini membuka peluang munculnya RUU siluman yang dipaksakan masuk dalam daftar pembahasan. Tak heran jika publik mulai curiga, seperti pada wacana revisi UU Polri yang mencuat baru-baru ini.
“Kalau mengacu pada pola yang disampaikan Pak Dasco, besar kemungkinan pembahasan RUU Polri juga akan menggunakan pendekatan serba dadakan,” kata Lucius Karus, Peneliti FORMAPPI kepada Media ini, Selasa (8/04/2025.
Ia menduga DPR ingin mengulang “keberhasilan” ala mereka dalam revisi UU TNI, yang juga dibahas secara terburu-buru.
Lucius menambahkan, pernyataan Dasco seolah mengabaikan keberadaan instrumen resmi dalam perencanaan legislasi sebagaimana diatur dalam UU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Dalam UU tersebut, penyusunan Prolegnas jangka menengah dan tahunan adalah landasan utama perencanaan legislasi yang semestinya tidak boleh dilangkahi.
Ia menekankan, pembahasan RUU yang tak masuk dalam Prolegnas hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat dan mendesak—dan kondisi tersebut pun harus bisa dijelaskan secara obyektif.
Jika tidak, alasan itu rentan digunakan sebagai kedok untuk agenda tersembunyi.Sayangnya, lanjut Lucius, DPR justru makin sering menabrak aturan main Prolegnas dan Prolegnas Prioritas. Pembahasan revisi UU TNI dan UU BUMN adalah contoh nyata bagaimana DPR mulai terbiasa mengabaikan prinsip dan mekanisme legislasi yang sah secara hukum.
Lucius menilai alasan mendesak tak bisa dijadikan dalih untuk dua revisi UU tersebut. Kedua RUU tersebut sejak awal ditolak publik dan tak menunjukkan kebutuhan darurat yang layak dijadikan dasar untuk pembahasan di luar Prolegnas.
“Pembahasan dua RUU itu adalah contoh buruk mekanisme perencanaan legislasi. Prosesnya mendadak, tertutup, dan mengabaikan tata kelola hukum yang seharusnya dijunjung tinggi,” tegas Lucius.
Oleh karena itu, ia menyerukan kepada masyarakat untuk menolak model legislasi dadakan seperti yang diisyaratkan oleh Dasco.
Terlebih jika itu berkaitan dengan upaya memasukkan RUU Polri ke dalam daftar prioritas tahun 2025 secara tiba-tiba.
“DPR sebaiknya fokus saja pada 41 RUU Prioritas 2025 yang telah disepakati. Jumlah itu sudah cukup besar. Tidak masuk akal kalau DPR masih ingin menambah seperti yang terjadi pada masa sidang II lalu, ketika tiba-tiba jumlahnya bertambah jadi 43 karena masuknya revisi UU TNI dan UU BUMN,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa DPR tak bisa membiasakan pola kerja di mana pembahasan baru dimulai setelah RUU-nya sudah disahkan bersama pemerintah. I
tu yang terjadi dengan UU BUMN—yang awalnya tidak ada dalam daftar prioritas, namun tiba-tiba muncul setelah disetujui.
Menurutnya, buruknya perencanaan inilah yang menentukan kualitas akhir legislasi DPR. Jika rencana dibuat secara serampangan, bukan tidak mungkin RUU penting yang sudah disusun justru tersingkir oleh RUU-RUU siluman yang bermasalah.
RUU Polri sendiri sejatinya bukan barang baru. Di periode sebelumnya, RUU ini sudah mulai dibicarakan bersamaan dengan rencana revisi UU TNI.
Namun, gelombang penolakan publik yang kuat saat itu membuat pembahasannya urung dilakukan.
Lucius menekankan bahwa saat ini, seharusnya DPR fokus mengevaluasi keberatan publik atas rencana pembahasan dua RUU tersebut.
Evaluasi itu penting dan harus dilakukan secara terbuka agar masyarakat merasa dilibatkan dan didengar.
Sayangnya, alih-alih mengevaluasi, DPR justru kembali memakai strategi dadakan dan menutup ruang diskusi.
“Kesalahan DPR sebelumnya kini diulang lagi oleh DPR periode sekarang,” kata Lucius.
Dengan waktu yang masih tersedia, Lucius berharap kesalahan pembahasan revisi UU TNI tidak terulang dalam proses revisi UU Polri.
Jika DPR serius ingin merevisi UU Polri, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengevaluasi isi UU saat ini, serta menampung secara terbuka aspirasi publik yang sudah muncul sejak periode sebelumnya.
“Jangan sampai pola legislasi mendadak yang dikatakan Dasco justru dimaksudkan untuk mengulangi kesalahan DPR saat membahas revisi UU TNI dan BUMN,” tutup Lucius. (Ns)