Dilema Pernikahan Dini: Fakta, Dampak, dan Solusi

by -497 Views

Jakarta, TERBITINDO.COM – Meski undang-undang telah mengatur batas usia pernikahan, pernikahan dini tetap terjadi di berbagai penjuru negeri. Fenomena ini kerap terlihat di daerah terpencil, dengan latar belakang penyebab yang beragam.

Padahal, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1) telah menetapkan usia minimal menikah untuk perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Sayangnya, kondisi di lapangan masih jauh dari standar yang diharapkan.

Data yang terkumpul dari berbagai sumber menunjukkan bahwa delapan provinsi di Indonesia memiliki persentase pernikahan dini yang tinggi, mencerminkan situasi yang mengkhawatirkan dalam hal perlindungan anak dan remaja.

Peta Angka Pernikahan Dini di Berbagai Provinsi

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat angka pernikahan dini tertinggi, mencapai 16,23 persen pada tahun 2022.

Angka tersebut hampir dua kali lipat dari rata-rata nasional yang berada di kisaran 8,06 persen. Informasi ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

Kalimantan Tengah juga menunjukkan angka yang tinggi. Pada tahun 2020, persentasenya mencapai 16,35 persen, menurun menjadi 15,47 persen pada 2021, dan semakin turun ke angka 14,72 persen pada 2022.

Meski mengalami penurunan, jumlahnya masih tinggi karena banyak remaja menikah sebelum usia 18 tahun.

Gorontalo memperlihatkan tren yang tidak konsisten. Angka pernikahan dini pada tahun 2020 berada di angka 14,73 persen, turun ke 11,64 persen pada tahun 2021, namun kembali naik menjadi 13,65 persen pada tahun 2022.

Kalimantan Barat melaporkan angka 17,14 persen pada tahun 2020, kemudian menurun menjadi 13,84 persen pada 2021, dan terus turun ke 12,84 persen pada tahun 2022.

Di Sulawesi Tengah, terjadi penurunan dari 14,89 persen pada tahun 2020 menjadi 12,51 persen pada 2021, namun terjadi sedikit kenaikan ke angka 12,65 persen pada tahun 2022.

Sulawesi Barat, berdasarkan data hingga Mei 2023, menunjukkan angka 11,7 persen, penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 17,71 persen.

Jawa Timur juga mengalami pernikahan dini yang tinggi. Pada tahun 2022, tercatat 10,44 persen remaja menikah di usia dini dan terdapat lebih dari 15.000 permohonan dispensasi nikah di provinsi ini sepanjang tahun tersebut.

Di Jawa Barat, tren penurunan terus terjadi dengan angka 10,35 persen pada tahun 2020, turun ke 9,23 persen pada 2021, dan mencapai 8,06 persen pada tahun 2022. Wilayah dengan kontribusi terbesar di antaranya adalah Cirebon, Garut, dan Sukabumi.

Secara global, data UNICEF 2023 melaporkan bahwa sebanyak 25,53 juta perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Fakta ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat keempat setelah India, Bangladesh, dan Cina.

Selain itu, Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mencatat bahwa 95% permohonan dispensasi kawin dikabulkan oleh pengadilan dalam rentang waktu 2019–2023. Ironisnya, sepertiga dari permohonan tersebut diajukan akibat kehamilan di luar nikah.

Faktor-Faktor yang Mendorong Pernikahan Dini

Salah satu penyebab utama pernikahan dini adalah tekanan ekonomi dalam keluarga. Di lingkungan dengan kondisi ekonomi yang terbatas, anak perempuan sering kali dipandang sebagai beban tambahan.

Maka, menikahkan anak dianggap sebagai solusi untuk meringankan beban keluarga dan memindahkan tanggung jawab tersebut kepada keluarga suami.

Pendekatan ini merupakan strategi bertahan hidup yang lazim dijumpai di kawasan miskin, terutama di pedesaan atau wilayah dengan akses terbatas terhadap sumber daya.

Selain faktor ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan turut berkontribusi. Anak-anak yang terputus dari pendidikan atau tidak mendapatkan pendidikan layak cenderung tidak memahami dampak jangka panjang dari pernikahan dini.

Mereka tak menyadari bahwa pernikahan muda bisa berdampak negatif terhadap kesehatan reproduksi, psikologis, serta masa depan, termasuk peluang kerja dan kemandirian finansial.

Adat dan norma sosial di beberapa daerah pun mempengaruhi pandangan masyarakat tentang pernikahan.

Pernikahan muda sering dianggap sebagai bagian dari tradisi yang harus dijalani. Dalam budaya tertentu, perempuan yang telah mencapai usia remaja dianggap sudah “siap” menikah meski secara psikologis dan biologis belum matang.

Pandangan ini diperkuat oleh tokoh masyarakat atau agama yang memandang pernikahan dini sebagai perlindungan terhadap pergaulan bebas.

Kehamilan di luar nikah juga menjadi faktor pendorong pernikahan mendadak.
Dalam masyarakat yang sangat menjunjung nilai moral, kehamilan di luar nikah dianggap sebagai aib yang harus segera diselesaikan melalui pernikahan, meski tanpa mempertimbangkan kesiapan pasangan.

Hal ini sering berujung pada konflik, perceraian dini, atau kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis.

Tak kalah penting, tekanan dari lingkungan—baik keluarga besar maupun masyarakat—juga memainkan peran.

Anak perempuan sering mendapat tekanan untuk segera menikah agar terhindar dari stigma “perawan tua” atau demi mengikuti tren di antara teman-temannya yang sudah menikah.

Situasi ini membuat mereka menjadi korban dari sistem sosial yang memaksa keputusan besar tanpa adanya kesiapan yang cukup.

Aksi Nyata

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan bahwa pencegahan pernikahan dini tidak semata-mata tentang regulasi.

Diperlukan sinergi antara pembuat kebijakan dan masyarakat agar aturan yang ada dapat diimplementasikan secara efektif.

“Sejumlah kebijakan sudah tersedia, yang dibutuhkan sekarang adalah pemahaman dan implementasi,” ujar Lestari, Selasa (14/1/2025).

Dikenal dengan sapaan Rerie, Lestari menyebut pernikahan dini sebagai bentuk kekerasan terhadap anak yang berdampak fisik, mental, sosial, dan seksual.

Ia menekankan pentingnya edukasi hak-hak reproduksi perempuan secara berkelanjutan agar kebijakan yang telah ditetapkan bisa membawa dampak positif.

“Kita butuh generasi penerus yang sehat, berkarakter, dan mampu bersaing di tengah tantangan global,” tegasnya. (Tere)