Waspada! RUU Polri dan Ancaman Privasi Lewat Pasal Penyadapan

by -328 Views

Jakarta, TERBITINDO.COM – Isu revisi Undang-Undang Polri mencuat di tengah polemik aturan militer yang belum mereda.

Dalam diam-diam, muncul draf yang membuka peluang perluasan wewenang polisi—terutama soal penyadapan. Banyak pihak menilai, ini bisa menjadi pintu masuk pembungkaman atas nama keamanan.

Setelah menuai kritik luas terhadap UU TNI, publik kini kembali terusik oleh rencana revisi UU Polri yang tak kalah kontroversial.

Kecurigaan bermula dari beredarnya salinan surat presiden yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada 13 Februari 2025, yang menunjuk perwakilan pemerintah untuk membahas revisi UU tersebut.

Meski dokumen tersebut belum dipublikasikan secara resmi, peredarannya telah menimbulkan gelombang kekhawatiran baru di masyarakat sipil.

Namun, Ketua DPR RI Puan Maharani membantah adanya pembahasan tersebut. Ia menegaskan bahwa hingga kini pimpinan DPR belum menerima Surat Presiden terkait revisi UU Polri.

Ia menyebut foto dan dokumen yang beredar, termasuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), bukanlah dokumen resmi, sehingga belum dapat dijadikan dasar pembahasan di parlemen setelah masa reses berakhir.

Draf Bocor, Kritik Mengalir

Terlepas dari bantahan Puan, draf RUU Polri yang beredar luas justru memperlihatkan sejumlah pasal bermasalah.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian—terdiri dari YLBHI, Imparsial, dan sejumlah lembaga lainnya—mengeluarkan sembilan catatan kritis.

Salah satu sorotan tajam mereka adalah bahwa revisi ini gagal membenahi akar persoalan, yakni lemahnya mekanisme pengawasan publik terhadap institusi kepolisian yang memegang kekuasaan besar dalam penegakan hukum dan keamanan.

Pasal yang paling menjadi sorotan adalah Pasal 14 ayat (1) huruf o, yang memberi kewenangan penyadapan kepada polisi “sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan.”

Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, mengingatkan bahwa Indonesia belum memiliki undang-undang penyadapan yang utuh.

Artinya, memberikan wewenang tersebut kepada Polri tanpa aturan induk sama saja membuka ruang besar untuk penyalahgunaan.

Tak hanya membuka celah, pasal ini juga menimbulkan disparitas dengan lembaga lain seperti KPK. Dalam praktik KPK, penyadapan harus mendapat izin dari Dewan Pengawas.

Sebaliknya, RUU Polri tidak menetapkan mekanisme izin serupa, yang membuat prosesnya menjadi sangat longgar dan rawan disalahgunakan.

Bugivia Maharani dari PSHK ikut bersuara. Ia menilai potensi penyalahgunaan kewenangan oleh Polri sangat besar, terutama jika tidak ada pengawasan ketat.

Ia menekankan pentingnya payung hukum penyadapan yang jelas, agar tidak terjadi kekacauan sektoral di mana tiap lembaga membuat aturannya sendiri-sendiri.

Rani juga mempertanyakan urgensi dan arah dari pemberian wewenang tersebut. Apakah penyadapan untuk tujuan penegakan hukum, atau malah untuk tujuan lain yang tak dijelaskan dalam naskah? Tanpa kejelasan ini, kekuasaan menjadi terlalu longgar dan mengancam hak-hak sipil.

Ia pun mengingatkan bahwa perluasan kewenangan ini bisa berdampak serius terhadap privasi masyarakat, khususnya mereka yang aktif di bidang advokasi atau pembelaan HAM.

Legitimasi penyadapan tanpa kontrol memungkinkan aparat mengawasi warga secara menyeluruh, bahkan membungkam kritik atas nama ‘gangguan keamanan’.

Tak hanya soal penyadapan, RUU Polri juga memberi wewenang baru dalam bidang intelijen keamanan.

Pada Pasal 16B, disebutkan bahwa Polri diberi kuasa untuk mencegah kegiatan yang dianggap mengganggu ‘kepentingan nasional’. Isnur menyayangkan ketiadaan definisi jelas atas istilah ini, yang berpotensi menjadi alat represi terhadap kebebasan berekspresi.

Pasal tentang Intelkam ini juga berpotensi menyuburkan praktik penggunaan kekuatan secara eksesif.

Tanpa kontrol yang kuat, kewenangan ini bisa menjadi pintu masuk pelanggaran HAM, apalagi jika digunakan untuk membungkam kelompok kritis.

Koalisi masyarakat sipil beranggapan ada banyak regulasi lain yang lebih mendesak untuk dibahas.

Di antaranya RUU Penyadapan, RUU Perampasan Aset, hingga RUU Masyarakat Adat. Revisi UU Polri, jika hanya memperluas kekuasaan, dianggap bukan prioritas.

PSHK menegaskan, jika revisi dilakukan, maka seharusnya sejalan dengan semangat reformasi kepolisian.

Fokus utamanya bukan memperluas kekuasaan, melainkan membenahi transparansi dan akuntabilitas.

Sejatinya, UU Polri harus sejalan dengan KUHAP yang sudah menjadi dasar hukum penegakan hukum pidana di Indonesia. (Abet)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.