Jakarta, TERBITINDO.COM – Di balik pasir putih Pantai Kuta yang memesona, Indonesia menunjukkan keseriusannya menangani sampah laut.
Tak sekadar seremoni, aksi bersih-bersih ini membawa pesan besar: laut bersih adalah tanggung jawab bersama.
Kementerian Lingkungan Hidup turun langsung ke garis pantai Kuta, Bali, dalam Aksi Bersih Sampah Laut.
Menteri Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa penanganan sampah laut tak bisa diserahkan ke satu pihak saja. Ini adalah masalah global yang butuh kerja sama lintas sektor dan negara.
Kegiatan ini tidak berhenti sebagai simbol, tapi menjadi aksi nyata dan pernyataan kuat: Indonesia serius menjaga lautnya.
“Kami ingin menunjukkan bahwa Indonesia serius dalam menjaga lautnya,” ujar Hanif dalam siaran pers, Ahad (6/4/2025).
Aksi pada Jumat (4/4/2025) itu juga dimanfaatkan untuk menyerahkan bantuan berupa truk sampah dan alat trash boom—penyaring sampah di muara sungai.
Bantuan ini hasil sinergi antara Indonesia dan Uni Emirat Arab, serta dukungan dari UNDP Indonesia dan organisasi Clean Rivers.
Tak hanya itu, pemerintah pusat melalui Kemenko Pangan juga membentuk Tim Koordinasi Penanganan Sampah Laut di Bali.
Tim ini melibatkan berbagai kementerian, lembaga, TNI/Polri, dan pemerintah daerah agar penanganannya lebih menyeluruh dan berkelanjutan.
Lebih dari dua ribu orang bergabung dalam kegiatan yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup ini.
Mereka mengumpulkan plastik, kayu, dan sampah lain di Pantai Kuta dan Kedonganan. Di Kedonganan, alat berat seperti tiga loader dan satu ekskavator ikut diterjunkan.
Semua sampah yang dikumpulkan langsung diangkut oleh petugas DLHK Kabupaten Badung ke STO Kedonganan. Gerakan ini jadi bukti nyata: gotong royong masih menjadi kekuatan utama bangsa.
Sampah Tak Kenal Batas Negara
Masalahnya, sampah plastik bukan hanya soal estetika pantai. Peneliti BRIN, Muhammad Reza Cordova, mengungkapkan bahwa 10–20 persen sampah Indonesia justru berakhir di perairan internasional.
Bahkan, ada plastik dari Indonesia yang hanyut hingga Afrika Selatan dalam setahun. “Sampah yang kita ‘ekspor’ bukan sesuatu yang baik, tapi malah jadi beban global,” ujarnya.
Di sisi lain, sepanjang 2024, sekitar 350.000 ton sampah plastik masuk ke laut Indonesia. Meskipun jumlahnya menurun 41 persen dibanding 2018, Indonesia masih berada di posisi 10 besar dunia pencemar laut.
Plastik tak hanya mengotori pantai, tapi juga membunuh biota laut, merusak terumbu karang, dan menghancurkan ekosistem mangrove.
Lebih parah lagi, plastik mengandung zat berbahaya seperti BPA, BPS, dan phthalates yang bisa mencemari lingkungan dan akhirnya masuk ke tubuh manusia.
“Setelah terdegradasi, plastik melepaskan zat aditif ke lingkungan,” jelas Reza.
Mikroplastik yang tertelan ikan bisa berakhir di piring makan kita. Selain itu, plastik juga bisa menjadi tempat menempelnya logam berat, pestisida, dan mikroba berbahaya.
Reza menyebut hanya sekitar 50 persen sampah Indonesia yang sampai ke tempat pengelolaan akhir.
Ia mendorong pemerintah untuk lebih tegas dalam kebijakan pengelolaan plastik. Jenis plastik sekali pakai seperti sachet, botol minuman, kantong plastik, dan sedotan mendominasi perairan Indonesia.
Sampah jenis ini bisa bertahan ratusan tahun di laut dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia dan alam.
Sebagai bagian dari solusinya, BRIN tengah mengembangkan bioremediasi, yakni penggunaan mikroba untuk mengurai plastik yang sudah mencemari lingkungan.
Pendekatan ekoregion dan pembangunan fasilitas pengelolaan sampah juga terus digenjot di daerah.
Teknologi modern seperti penginderaan jauh, sensor bawah air, dan kecerdasan buatan juga mulai digunakan untuk memetakan sebaran sampah laut dengan lebih akurat.
Data Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL) menunjukkan tren positif: terjadi penurunan kebocoran sampah plastik ke laut sebesar 41,68 persen, dari 615.675 ton pada 2018 menjadi 359.061 ton pada 2023.
Pemerintah menargetkan pengurangan sebesar 70 persen pada tahun 2025. Meski ambisius, langkah-langkah yang diambil saat ini menunjukkan bahwa harapan masih terbuka lebar. (Enjo)