Jakarta, TERBITINDO.COM-Di tengah derasnya arus digitalisasi, anak-anak Indonesia menghadapi risiko paparan konten negatif, eksploitasi, hingga predator siber.
Untuk itu, pemerintah mengambil langkah strategis: menerbitkan PP Tunas, regulasi baru yang memaksa platform digital lebih bertanggung jawab dalam melindungi anak-anak.
Akses internet kini menjadi kebutuhan, namun perlindungan terhadap anak-anak di ruang digital tak bisa diabaikan.
Merespons urgensi tersebut, Presiden Prabowo Subianto meresmikan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, atau PP Tunas, Jumat, 28 Maret 2025 di Istana Kepresidenan.
PP ini menegaskan tanggung jawab platform digital dalam menciptakan ruang aman bagi anak-anak dengan mengatur batas usia dan perlindungan konten.
Prabowo menegaskan bahwa regulasi ini penting demi menjaga anak-anak dari dampak negatif kemajuan teknologi.
“Teknologi digital menjanjikan kemajuan pesat bagi kemanusiaan, tetapi tanpa pengelolaan yang baik, justru dapat merusak moral dan psikologi anak-anak kita,” tegas Presiden.
Sedangkan, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa PP Tunas tak menargetkan anak-anak atau orang tua sebagai objek sanksi.
Sebaliknya, penyelenggara sistem elektronik (PSE)—seperti media sosial dan gim online—yang menjadi subjek utama regulasi ini.
“PP ini bukan memberi sanksi kepada orang tua ataupun anak, melainkan sanksi kepada para platform,” jelas Meutya.
Sanksi administratif yang akan diterapkan meliputi teguran hingga penutupan layanan. Meutya optimistis, kolaborasi sejak awal perumusan akan membuat platform lebih patuh.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah akan kembali berdiskusi dengan para platform pasca-Lebaran untuk membahas teknis pelaksanaan.
Isi Inti PP Tunas
Regulasi ini memuat lima aturan utama yang wajib diikuti seluruh platform digital demi menjaga keselamatan anak di ruang digital.
Prinsip dasarnya: kepentingan anak harus menjadi prioritas tertinggi, bahkan di atas kepentingan komersial.
Salah satu aturan menegaskan bahwa semua kebijakan platform harus memperhatikan dampaknya terhadap anak.
Selain itu, praktik pengumpulan data pribadi anak untuk tujuan komersial (profiling) dilarang keras.
Proses pembuatan akun pun kini wajib dibatasi secara ketat dan berada di bawah pengawasan orang tua. PP ini juga melarang eksploitasi anak sebagai “komoditas digital”, termasuk penggunaan anak untuk tujuan meraup keuntungan.
Untuk menjamin kepatuhan, sanksi tegas akan diterapkan kepada semua pihak yang melanggar, termasuk platform digital yang lalai.
PP Tunas mengatur batas usia anak dalam mengakses platform digital berdasarkan tingkat risikonya. Anak usia 13 tahun hanya boleh mengakses platform berisiko rendah. Untuk platform berisiko sedang, anak usia 16 tahun masih memerlukan pendampingan orang tua.
Sementara itu, platform dengan risiko tinggi hanya boleh diakses oleh mereka yang berusia 18 tahun ke atas. Aturan ini dianggap krusial untuk mencegah paparan konten yang tidak sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.
Respons Positif
Pakar psikologi Universitas Indonesia, Prof. Roes Mini Agoes Salim, menyambut positif PP Tunas sebagai bentuk kepedulian nyata pemerintah.
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat pelecehan seksual digital tertinggi keempat di dunia, serta memiliki 5,5 juta anak yang telah terpapar konten pornografi.
“Kita harus berterima kasih karena pemerintah sudah turun tangan dan sangat memperhatikan peran para orang tua dan pendidik,” ujarnya.
Sementara Siti Nur Andini, Direktur Komunitas Parenting Keluarga Kita, menyebut bahwa pengasuhan digital adalah urusan kolektif, bukan hanya beban orang tua.
“Tanggung jawabnya tidak bisa dibebankan hanya kepada orang tua,” kata Siti. Komunitasnya menyatakan siap membantu implementasi aturan ini demi menciptakan ruang digital yang lebih aman bagi anak.
Sedangkan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, meminta pemerintah tidak ragu menjatuhkan sanksi tegas kepada platform yang melanggar.
“Platform digital yang melanggar perlu dicabut izinnya,” ujarnya. Ia menilai sanksi tegas penting untuk menciptakan efek jera.
Senada itu, Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menegaskan bahwa kondisi anak di dunia digital sudah memasuki status darurat. Ia menekankan pentingnya pendekatan menyeluruh, dari pihak aplikasi hingga peran keluarga dan sekolah.
Ia juga berharap regulasi ini dibarengi dengan penguatan literasi digital agar anak-anak lebih siap menghadapi dunia maya dengan aman dan sehat. (Abet)