Jakarta, TERBITINDO.COM – Kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) atau Bonus Hari Raya (BHR) bagi pengemudi ojek online (ojol) dan kurir berdasarkan keaktifan kerja menuai kritik.
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) menilai skema tersebut sebagai bentuk diskriminasi yang memungkinkan platform menghindari kewajiban mereka.
Ketua SPAI, Lily Pujiati, menyoroti bahwa mekanisme pemberian THR yang hanya diberikan kepada pengemudi aktif berpotensi merugikan banyak pekerja.
Ia menyebut, kebijakan ini memberi celah bagi perusahaan untuk tidak membayar THR kepada seluruh pengemudi, termasuk mereka yang pernah bekerja dan berkontribusi terhadap keuntungan platform.
“Pengelompokan ini berdasarkan hari aktif, jam online, tingkat penerimaan bid, tingkat penyelesaian trip, rating pengemudi, serta kepatuhan terhadap kode etik. Ini sangat diskriminatif, karena esensi THR adalah berbagi,” ujar Lily kepada Tirto, Senin (10/3/2025).
Lily menjelaskan bahwa platform mengirimkan notifikasi kepada pengemudi terpilih yang dianggap sebagai “mitra juara”, “mitra andalan”, atau “mitra pengemudi teladan” untuk menerima BHR tunai atau bonus kinerja khusus.
Karena itu, SPAI menuntut agar THR diberikan kepada seluruh pengemudi ojol, taksi online, dan kurir yang pernah bekerja dan berkontribusi, tanpa memandang status mereka—aktif, non-aktif, atau yang sudah putus mitra (PM).
Menurutnya, meskipun ada pengemudi yang kini non-aktif atau telah diputus kemitraannya, mereka tetap berperan dalam menciptakan profit bagi platform. Mereka telah mengeluarkan biaya untuk atribut kerja seperti helm, jaket, dan tas, serta menanggung biaya operasional sendiri, mulai dari bahan bakar, parkir, pulsa, hingga servis kendaraan.
“Biaya-biaya ini pada akhirnya menguntungkan platform. Tidak ada alasan bagi perusahaan untuk menolak membayar THR bagi pengemudi non-aktif atau PM,” tegas Lily.
Lebih lanjut, ia menyoroti kontradiksi dalam sistem kerja fleksibel yang diklaim oleh platform. Jika fleksibilitas menjadi keunggulan utama, maka tidak seharusnya status keaktifan dijadikan alasan untuk menentukan hak THR.
“Kami seharusnya bisa menuntut THR 10 kali lipat sesuai masa kerja 10 tahun. Tapi saat ini, kami hanya meminta satu kali THR sebesar satu kali UMP. Apakah platform masih akan berkilah dengan alasan tidak mampu secara finansial?” kata Lily.
SPAI berharap Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) segera turun tangan dan mewajibkan platform membayarkan THR kepada seluruh pengemudi. Menurut Lily, kehadiran negara sangat diperlukan untuk memastikan keadilan bagi pekerja sektor transportasi online. (Abet)