Jakarta, TERBITINDO.COM – Kasus penarikan lagu Bayar Bayar Bayar milik band punk Sukatani dan permintaan maaf yang mereka sampaikan telah memicu gelombang solidaritas di kalangan musisi, seniman, dan masyarakat luas.
Peristiwa ini bukan sekadar soal musik, tetapi menjadi cerminan bagaimana kebebasan berekspresi masih rentan terhadap tekanan.
Sejumlah pakar menilai, tindakan represif terhadap karya seni justru menciptakan efek sebaliknya: perlawanan yang semakin kuat.
Musik, Kritik, dan Represi
Damar Juniarto, pendiri PIKAT Demokrasi sekaligus dosen politik digital di UPN Veteran Jakarta, menilai bahwa tindakan terhadap Sukatani berpotensi melanggar hak berekspresi dan berkesenian.
Menurutnya, konstitusi menjamin kebebasan berkarya, kecuali jika sebuah karya mengandung unsur kekerasan atau ajakan kriminal. Namun, lagu Bayar Bayar Bayar sama sekali tidak melanggar koridor hukum dan HAM.
“Kita harus bertanya, mengapa lagu ini baru dipermasalahkan setelah satu tahun dirilis? Siapa sebenarnya yang dirugikan oleh lagu ini?” ujar Damar.
Menurutnya, tekanan terhadap Sukatani, terutama jika datang dari institusi tertentu, bisa dikategorikan sebagai bentuk opresi. Ia menekankan bahwa ketidaksukaan terhadap sebuah karya seharusnya disampaikan melalui mekanisme yang sehat, bukan dengan pembredelan atau intimidasi.
Efek Domino:
Alih-alih meredam kritik, tindakan terhadap Sukatani justru memicu gelombang solidaritas yang lebih besar.
Sejumlah musisi bahkan mulai meng-cover lagu Bayar Bayar Bayar dan merilisnya di platform digital sebagai bentuk dukungan. Jika jumlahnya signifikan, karya-karya ini direncanakan akan dikompilasi menjadi album dan hasil penjualannya didonasikan untuk Sukatani.
Di media sosial, gerakan #KamiBersamaSukatani telah menyebar luas. Lebih dari 80 ribu unggahan di Instagram menunjukkan bagaimana masyarakat melihat kasus ini sebagai bentuk ketidakadilan.
Meski lagu sudah ditarik dari platform resmi, banyak pihak justru mengunggah ulang lagu tersebut, menjadikannya semakin viral.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menjelaskan bahwa reaksi publik ini merupakan respons alami terhadap apa yang disebut perceived injustice—perasaan ketidakadilan yang dirasakan bersama.
“Sukatani kini bukan sekadar band punk. Mereka menjadi simbol bagi masyarakat yang merasa kebebasan berekspresinya terus ditekan,” kata Wawan.
Menurutnya, ketika otoritas menggunakan cara represif untuk membungkam kritik, masyarakat justru semakin bersatu untuk melawan. Sejarah gerakan sosial telah menunjukkan bahwa semakin keras tekanan yang diberikan, semakin kuat pula gelombang perlawanan yang muncul.
Masa Depan Demokrasi
Seniman dan musisi Wok The Rock menilai bahwa represi terhadap karya seni seperti yang dialami Sukatani menunjukkan kemunduran dalam berdemokrasi.
Seni, menurutnya, selalu dianggap sebagai ancaman oleh pemegang kekuasaan karena sifatnya yang bebas dan sering kali kritis terhadap ketidakadilan.
“Negara seharusnya bukan hanya mentoleransi seni, tetapi juga menjamin kebebasan dan kesejahteraan para pelakunya,” ujarnya.
Vokalis The Brandals, Eka Annash, juga melihat kasus ini sebagai alarm bagi musisi lain. Ia mengingatkan bahwa hal serupa pernah dikhawatirkan dalam RUU Permusikan, yang sempat memuat pasal larangan bagi musisi untuk menciptakan lagu yang dianggap menghina atau menodai.
“Ini bukti nyata bahwa represi terhadap seni itu ada. Padahal, kritik melalui musik adalah bagian dari demokrasi,” kata Eka.
Di tengah situasi ini, Damar Juniarto mendorong para musisi dan seniman untuk tidak takut berkarya.
Ia menyarankan agar mereka bekerja sama dengan lembaga hukum atau organisasi nirlaba untuk mendapatkan perlindungan dari potensi intimidasi.
“Saat satu suara dipaksa diam, seribu suara lainnya akan bangkit,” tegasnya.
Kasus Sukatani membuktikan bahwa kebebasan berekspresi tidak bisa begitu saja dibungkam. Justru, setiap upaya membatasi seni dan kritik hanya akan melahirkan perlawanan yang lebih besar.
Musik tidak bisa dibungkam—ia akan terus hidup, dinyanyikan, dan menggema di mana-mana. (Abet)