Jakarta, TERBITINDO.COM – Wabah Demam Babi Afrika (African Swine Fever/ASF) kembali menghantui peternakan babi di Indonesia.
Seolah tak ada habisnya, virus ini telah menyerang 32 provinsi di tanah air. Papua, Papua Tengah, dan Nusa Tenggara Timur menjadi beberapa wilayah yang paling terdampak.
Di Papua Tengah saja, lebih dari 6.000 ekor babi mati hanya dalam kurun waktu Januari 2024.
Masalahnya, hingga saat ini belum ada vaksin untuk ASF. Berbeda dengan flu burung yang sudah bisa dicegah, ASF masih menjadi mimpi buruk bagi para peternak.
Ribuan babi mati, ekonomi terpuruk, dan para peternak kecil makin terpojok. Meski virus ini tidak berbahaya bagi manusia dan dagingnya masih aman dikonsumsi, dampaknya tetap terasa.
Epidemiolog Dicky Budiman bahkan menyarankan untuk berhati-hati dan menghindari konsumsi daging babi sementara waktu.
Apa Itu Demam Babi Afrika?
ASF adalah penyakit mematikan yang menyerang babi domestik dan babi liar dengan tingkat kematian mencapai 100 persen.
Penyebabnya adalah virus ASFV (African Swine Fever Virus) yang sangat mudah menyebar.
Kontak langsung antar babi, pakan dan air yang terkontaminasi, atau peralatan yang tidak steril bisa menjadi jalur penyebaran.
Bahkan, kutu babi dan serangga tertentu juga berperan dalam penyebaran virus ini.
Meskipun ASF sangat berbahaya bagi babi, kabar baiknya, virus ini tidak menular ke manusia.
Namun, bagi peternak, virus ini tetap menjadi ancaman besar karena dapat meluluhlantakkan usaha mereka dalam waktu singkat.
Daerah dengan populasi babi yang padat berisiko lebih tinggi, apalagi jika kebersihan kandang dan peralatan tidak dijaga dengan baik.
Peternak Terjepit di Tengah Wabah
Dampak ASF tidak berhenti pada kematian babi. Ekonomi peternak pun ikut porak-poranda.
Penurunan permintaan daging babi membuat banyak peternak kehilangan penghasilan. Menurut data tahun 2019, tingkat kematian akibat ASF bisa mencapai 30 hingga 100 persen, tergantung tingkat virulensi virusnya.
Jika hanya 30 persen dari populasi babi mati, kerugian peternak bisa mencapai Rp7,6 triliun. Angka yang luar biasa.
Kerugian ekonomi tidak hanya dirasakan oleh peternak lokal, tetapi juga sektor ekspor.
Berdasarkan data Indonesian Quarantine Full Automation System (IQFast) tahun 2018, Indonesia mengekspor 279 ribu ekor babi hidup dan ratusan kilogram produk daging babi olahan dengan nilai sekitar Rp837 miliar.
Dengan wabah ASF yang tidak terkendali, potensi ekspor ini terancam hilang.
Di Indonesia, ada sekitar 285 ribu peternak rakyat yang menggantungkan hidupnya pada peternakan babi.
Keuntungan mereka rata-rata mencapai 30 persen dari berat hidup babi. Jika wabah terus meluas, pendapatan mereka yang diperkirakan sebesar Rp256 miliar bisa lenyap.
Untuk mencegah penyebaran virus, pemerintah bahkan mewajibkan pemusnahan babi yang terinfeksi. Sayangnya, langkah ini menambah beban ekonomi bagi peternak kecil.
Kepala Badan Karantina Pertanian, Sahat Manaor Panggabean, mengimbau peternak untuk tidak menjual atau membuang hewan yang sakit demi mencegah penyebaran virus lebih luas.
Kebijakan ini tentu penting, tetapi bagi peternak yang sedang berjuang, situasi ini semakin sulit.
Bisakah ASF Dihentikan?
Hingga saat ini, belum ada vaksin yang bisa melawan virus ASF. Satu-satunya cara untuk mencegah penyebaran adalah menerapkan biosecurity yang ketat.
Kebersihan kandang, peralatan, dan pakan harus dijaga dengan baik agar tidak terkontaminasi.
Peternak harus memastikan lingkungan tetap steril dan babi tidak berkontak dengan sumber virus.
Meski daging babi dari hewan yang terpapar virus ASF tidak membahayakan kesehatan manusia, konsumsi daging babi tetap memerlukan perhatian khusus.
Memasak daging hingga benar-benar matang menjadi langkah wajib. Daging setengah matang berpotensi mengandung parasit seperti cacing gelang yang menyebabkan trikinosis atau cacing pita penyebab taeniasis.
Harapan Baru untuk Peternak
Menghadapi ASF memang tidak mudah. Peternak kecil, khususnya di Papua dan Nusa Tenggara Timur, menjadi pihak yang paling dirugikan.
Tanpa vaksin dan solusi konkret, mereka hanya bisa bertahan dengan upaya pencegahan.
Pemerintah diharapkan tidak tinggal diam dan segera mengambil langkah cepat untuk membantu peternak keluar dari krisis ini.***