Jakarta,TERBITINDO.COM – Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia selama beberapa tahun terakhir kerap menjumpai sejumlah persoalan serius.
Banyak persoalan cenderung diselesaikan secara damai melalui mekanisme restorative justice. Konsekuensinya, korban tetap menjadi korban. Sementara pelaku bebas berkeliaran entah beranta.
Merespons persoalan ini, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (BEM FH UBK) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Quo Vadis: Perlindungan, Penanganan, dan Penyelesaian Masalah HAM di Indonesia.”
Diskusi digelar bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 10 Desember guna merefleksikan kondisi HAM di tanah air.
Diskusi menghadirkan tiga narasumber kompeten, yakni Chrisbiantoro (Dosen FH UBK), Bang Sandi (WALHI), dan M. Daud Beureuh (Wakil Sekjen DPN PERADI).
Keseluruhan acara dipandu oleh Andri Tani, mahasiswa FH UBK dan diawali dengan sambutan dari Syaril selaku Ketua BEM FH UBK, serta diikuti oleh Dekan FH UBK.
Sebagai pembicara pertama, Chrisbiantoro mengungkapkan tantangan terbesar dalam perlindungan HAM di Indonesia.
“Salah satu hambatan utama adalah lemahnya implementasi kebijakan HAM di tingkat nasional. Regulasi ada, tetapi penerapannya tidak efektif,” tegasnya.
Ia juga menyoroti aspek hukum yang belum mendukung penyelesaian kasus HAM. Catatan Komnas HAM menyebut terdapat setidaknya 17 pelanggaran HAM berat yang belum mendapat penanganan pemerintah.
Selanjutnya, Sandi dari WALHI membawa perspektif lingkungan yang menghubungkan pelanggaran HAM dengan konflik agraria yang sering merugikan masyarakat kecil.
“Masalah lingkungan tidak bisa dilepaskan dari pelanggaran HAM. Banyak kasus di mana masyarakat yang berjuang mempertahankan tanah mereka justru menjadi korban kriminalisasi,” paparnya.
Pernyataan Sandi beralasan. Belakangan, negara melalui Program Strategis Nasional (PSN) cenderung mengekspansi sejumlah tanah milik masyarakat adat untuk kepentingan pembangunan.
Menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), terdapat 1.336 peta wilayah adat yang terdaftar. Namun, pemerintah daerah baru mengakui 219 di antaranya.
Adapun total luas wilayah adat yang telah diakui oleh pemerintah daerah mencapai 3,73 juta hektar, atau sekitar 13,9% dari keseluruhan wilayah adat yang terdaftar.
Sementara itu, M. Daud Beureuh membagikan pengalamannya sebagai Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.
Ia menekankan pentingnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme hukum yang kredibel.
“Korban dan keluarga mereka tidak hanya butuh pengakuan, tetapi juga keadilan yang nyata. Sayangnya, proses ini masih sering terhenti di meja birokrasi,” ungkapnya.
Hambatan ini bisa berupa prosedur administratif yang tidak efisien, kurangnya kemauan politik, atau minimnya dukungan institusi, sehingga korban tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka terima.
Dukungan Kampus Minim
Diskusi berlangsung interaktif karena antusiasme peserta. Mereka mengajukan berbagai pertanyaan kritis, seperti langkah konkret dalam mendorong pemerintah untuk lebih proaktif menangani kasus HAM.
Namun, di balik semangat tersebut, ada kritik tajam yang disampaikan oleh mahasiswa terhadap pihak kampus.
Salah satu Mahasiswa UBK mengungkapkan kesulitan mereka mendapatkan fasilitas untuk menyelenggarakan diskusi.
Alih-alih memanfaatkan aula kampus, mahasiswa terpaksa mengadakan acara di ruang terbuka. Mereka duduk di atas tanah di depan patung Bung Karno.
“Betapa ironisnya, ketika kita membahas keadilan dan martabat manusia, hak dasar mahasiswa untuk fasilitas yang layak justru diabaikan. Kampus lebih fokus menyewakan fasilitas untuk kegiatan lain daripada mendukung inisiatif akademik mahasiswanya sendiri,” ujar salah satu peserta.
Keseluruhan diskusi ditutup dengan kesimpulan bahwa penegakan HAM di Indonesia memerlukan sinergi dari semua pihak, yakni pemerintah, masyarakat, hingga lembaga independen.
Para narasumber sepakat bahwa pemahaman yang lebih luas tentang HAM harus terus ditanamkan, terutama di kalangan generasi muda untuk mendorong perubahan nyata.
Meski menghadapi keterbatasan fasilitas, semangat mahasiswa UBK untuk menyuarakan isu-isu HAM menjadi bukti bahwa diskusi kritis dan partisipasi aktif tetap hidup di tengah berbagai tantangan.***