Jakarta, TERBITINDO.COM – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi sorotan bukan hanya karena dinamika politiknya, tetapi juga karena munculnya isu keterlibatan aparat kepolisian yang dijuluki “Partai Cokelat” atau “Parcok” dalam proses tersebut.
Tudingan ini memicu diskusi hangat hingga gedung parlemen, bahkan menyeret anggota dewan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Pilkada 2024 meninggalkan jejak polemik terkait dugaan ketidaknetralan institusi kepolisian.
Istilah “Partai Cokelat” mencuat setelah Yoyok Riyo Sudibyo, anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, menyebutnya dalam rapat kerja Komisi I DPR bersama Menteri Pertahanan dan Panglima TNI pada 25 November 2024.
Yoyok menyoroti isu netralitas TNI dan Polri dalam Pilkada, dengan menyebut adanya “partai baru, Partai Cokelat,” yang diduga merujuk pada institusi kepolisian.
Pernyataan Yoyok mendapat tanggapan dari berbagai pihak. PDIP, misalnya, menuding adanya intervensi Polri dalam Pilkada 2024 dan meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bertanggung jawab atas dugaan tersebut.
Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, menyatakan bahwa pihaknya menemukan banyak oknum Polri yang terlibat dalam Pilkada di berbagai daerah.
Tim sukses pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung dan Rano Karno, menyampaikan apresiasi kepada TNI dan Polri.
Mereka mengapresiasi profesionalitas kedua institusi tersebut dalam menjaga netralitas selama Pilkada Jakarta 2024.
Mereka menilai bahwa Pilkada berjalan kondusif dan lancar berkat peran netral aparat.
Dari perspektif hukum, netralitas TNI dan Polri dalam pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedua undang-undang tersebut menegaskan bahwa TNI dan Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Namun, isu netralitas aparat dalam Pilkada 2024 tetap menjadi sorotan. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, mengungkapkan bahwa
potensi keterlibatan institusi Polri dalam memengaruhi penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 sangat sulit untuk dihindari.
Menurutnya, institusi tersebut memiliki peran strategis yang memungkinkan intervensi terhadap proses demokrasi di tingkat daerah.
Dedi juga menyoroti bahwa di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri memiliki peluang untuk memengaruhi arah dan hasil Pilkada.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan netralitas institusi dalam menjaga proses pemilihan yang adil dan transparan.
Sementara itu, Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, melihat pelaporan anggota dewan yang membahas isu “Parcok” sebagai langkah yang membatasi kebebasan berpendapat.
Ia menilai tindakan tersebut dapat menciptakan tekanan terhadap pihak-pihak yang berusaha beroposisi atau menyampaikan kritik dalam ruang publik.
Menurutnya, fraksi atau anggota DPR yang kerap mengambil sikap oposisi sering kali mendapat tekanan berupa pelaporan ke MKD.
Arif juga menilai bahwa posisi Fraksi PDIP di DPR sebagai pemenang Pileg 2024 seharusnya cukup kuat untuk menggulirkan hak angket atau hak interpelasi dalam mengusut isu “Parcok”.
Namun, ia mengakui bahwa ada proses politik di tubuh parlemen yang membuat penggunaan hak-hak tersebut tidak mudah terwujud.
Kendati demikian, DPR memiliki instrumen hak angket yang pantas didorong agar polemik dapat diselesaikan secara konstitusional.
Sementara, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai bahwa pelaporan anggota DPR ke MKD karena menyuarakan suatu polemik terlalu dipaksakan.
Ia menegaskan bahwa tidak ada yang salah jika anggota DPR, khususnya anggota Komisi III, mengomentari kinerja lembaga mitra mereka, dalam hal ini Polri.
Menurutnya, DPR memang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan dan berhak menyampaikan kritik terhadap mitra kerja masing-masing.
Lucius berharap MKD dapat bekerja secara independen dalam menangani polemik ini dan tidak menjadi agen kepentingan politik partai, fraksi, pemerintah, atau polisi.
Ia menekankan bahwa MKD dibentuk untuk menjaga marwah DPR, bukan lembaga lain.
Secara keseluruhan, polemik “Partai Cokelat” dalam Pilkada 2024 menyoroti pentingnya netralitas aparat dalam proses demokrasi.
Meskipun undang-undang telah mengatur netralitas TNI dan Polri, implementasinya di lapangan masih menjadi tantangan.
Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan evaluasi menyeluruh untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
Pilkada 2024 seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk introspeksi dan memastikan bahwa demokrasi Indonesia berjalan dengan jujur, adil, dan bebas dari intervensi pihak manapun.