Jakarta, TERBITINDO.COM – Pramono Anung dan Rano Karno sementara unggul dalam Pilkada Jakarta 2024 berdasarkan hasil hitung cepat.
Namun, apa yang membuat pasangan Ridwan Kamil-Suswono tertinggal meski diusung koalisi besar? Simak analisis pengamat dan politisi berikut.
Pasangan Pramono Anung dan Rano Karno sementara memimpin dalam Pilkada Jakarta 2024. Hal ini terungkap dari hasil akhir hitung cepat atau quick count berbagai lembaga survei.
Salah satunya Litbang Kompas, yang mencatat suara masuk 100 persen menunjukkan keunggulan Pramono Anung-Rano Karno dengan 49,49 persen.
Ridwan Kamil-Suswono mengikuti di angka 40,02 persen, sementara Dharma Pongrekun-Kun Wardana berada di posisi ketiga dengan 10,49 persen.
Meskipun demikian, hasil hitung cepat bukanlah hasil resmi. Keputusan tetap menunggu rekapitulasi manual KPU.
Meski begitu, kekalahan sementara Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan publik dan analis politik.
Pasangan Ridwan Kamil-Suswono didukung banyak partai dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Namun, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs, A Khoirul Umam, menyebut mesin politik koalisi ini tidak bekerja optimal.
Kekompakan KIM Plus seperti kawin paksa, “di mana kepentingan partai-partai pengusung kurang terakomodasi,” ujar Umam.
Alhasil, semangat yang tinggi di awal perlahan memudar menjelang pencoblosan.
Pengamat politik BRIN, Lili Romli, menyoroti lemahnya sinergi partai dalam koalisi ini.
Menurutnya, partai-partai yang tergabung seakan membiarkan Ridwan Kamil-Suswono berjuang sendirian.
Selain itu, resistensi terhadap Ridwan Kamil akibat kontroversi masa lalunya juga menjadi faktor penghambat.
Sebaliknya, pasangan Pramono-Rano berhasil mengonsolidasikan dukungan dengan mesin politik yang solid.
Amunisi dan Dukungan Minim
Politisi PKS, Mardani Ali Sera, menilai kerja koalisi Ridwan Kamil-Suswono kurang maksimal. Padahal, koalisi ini dihuni oleh belasan partai besar.
“Kami percaya partai-partai yang mendukung itu berkualitas. Tapi, kemarin nampaknya belum optimal,” ujar Mardani.
Dia berharap koalisi ini lebih solid dan siap jika terjadi putaran kedua.
Salah satu masalah utama adalah kekurangan amunisi finansial. Mardani mengungkapkan bahwa banyak partai, termasuk PKS, kehabisan dana akibat Pilpres dan Pileg yang baru saja berlangsung.
Akibatnya, kampanye dan relawan kurang maksimal.
Pemilih Jakarta yang Kritis
Pemilih di Jakarta dikenal memiliki literasi politik yang tinggi dan pragmatis. Menurut Khoirul Umam, pilihan mereka mudah berubah tergantung isu yang berkembang.
Pasangan Pramono-Rano dinilai lebih disiplin dalam kampanye lapangan dan narasi.
Dukungan dari tokoh besar seperti Anies Baswedan dan Ahok turut memperkuat posisi mereka. Selain itu, kedekatan Pramono dengan Jokowi dan Prabowo memberikan keuntungan strategis.
“Strategi Megawati memasang Pramono sangat tepat. Kedekatan personal Pramono dengan berbagai pihak membuat lawan sulit menjatuhkannya,” kata Umam.
Kesalahan Kampanye Ridwan Kamil
Narasi kampanye Ridwan Kamil-Suswono juga menjadi sorotan. Menurut Umam, slip of tongue Suswono terkait “janda” dimanfaatkan lawan untuk menyerang secara teologis.
Selain itu, strategi kampanye gimik seperti Mobil Curhat dan bantuan kopi gagal menarik simpati pemilih Jakarta, yang lebih kritis dibanding pemilih di Jawa Barat.
Sebaliknya, pasangan Pramono-Rano sukses menarik perhatian dengan pendekatan yang lebih relevan dan disiplin.
Hal ini menjadikan mereka sebagai kuda hitam yang berhasil mengungguli RIDO. (albert)