Menakar Dugaan Hoax Pernyataan Jefry Riwu Kore Terkait Kasus MTN Rp 50 Milyar Bank NTT

by -3760 Views

TERBITINDO.COM KataNTT.COM, sebuah media lokal di NTT pada Rabu, 23 Maret 2022, menayangkan berita tentang penjelasan resmi Wali Kota Kupang, Jefri Riwu Korea tentang hasil RUPS Bank NTT Tahun 2022 tentang MTN Rp 50 Milyar (judul berita: “Ini Penjelasan Resmi Wali Kota Kupang Soal MTN saat RUPS Bank NTT di Labuan Bajo”).

Orang nomor satu di Kota Kupang ini menyebut bahwa persoalan pembelian surat hutang jangka menengah ini dianggap sebagai resiko bisnis dan masalah ini dianggap clear. Polemik terkait masalah ini hanya memberi preseden buruk bagi bank kebanggaan masyarakat Nusa Tenggara Timur ini.

Berikut kutipan beritanya”…Bukan punya kerugian negara, bukan bagian dari situ. Karena kita juga tahu bahwa sebelumnya Bank NTT sudah dapat Rp 500 miliar dari pembelian MTN,” tegas Jefri Riwu Kore, Kamis (17/3/2022).

Selain itu, menurut Jefri Riwu Kore, bukan hanya Bank NTT yang mengalami kerugian namun ada bank lainnya seperti BCA dan Mandiri.
Kasus ini pun sebut Jefri, sudah dilaporkan ke aparat penegak hukum (APH) yakni Kejati NTT dan dari hasil penyelidikan awal tidak ditemukan aliran dana ke rekening direksi atau oknum-oknum tertentu demi mendapatkan keuntungan.

“Kemudian kawan-kawan ingin supaya dijadikan sebagai kasus korupsi. Ngak boleh. Kita (pemegang saham Red) harus klarifikasi bahwa ini bukan kasus korupsi. Dan pemegang saham sudah mengakui itu,” jelas Jefri.

“Kalau memang pemegang saham keberatan maka pemegang saham sudah minta untuk itu diproses. Khan begitu. Jadi kita tekankan lagi supaya jangan sampai orang di luar sana seolah-olah kita pemegang saham atau pak gub (Gubernur NTT Red) salah,” tegas Jefri mengutip pernyataannya pada forum RUPS Bank NTT di Labuan Bajo.

Pertama-tama yang perlu diingatkan kembali adalah bahwa Bank NTT merupakan BUMD propinsi NTT. BUMD memiliki kedudukan sangat penting dan strategis dalam menunjang pelaksanaan otonomi. BUMD perlu dioptimalkan pengelolaannya agar benar-benar menjadi kekuatan ekonomi yang handal sehingga dapat berperan aktif, baik dalam menjalankan fungsi dan tugasnya maupun sebagai kekuatan perekonomian daerah. (Bdk. Wahyu Maizal: 2014) sebagai BUMD propinsi NTT, Bank NTT mendapatkan suntikan modal dari Penyertaan modal oleh Pemerintah Daerah bersumber dari APBD tahun anggaran berjalan pada saat penyertaan atau penambahan penyertaan modal tersebut dilakukan (Bdk. Pasal 332 UU no 23/2014). Penyertaan modal pada bank NTT dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah dan memupuk sumber pendapatan daerah (Bdk. Fitri Erna Muslikah:2015).

Berdasarkan amanat pasal 23 ayat (5) UUD 1945, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Kemudian dituangkan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara jo Pasal 6 ayat (1) UU BPK Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Atas Dasar ini, Badan Pemeriksa Keuangan wajib memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada Bank NTT sebagai BUMD Propinsi NTT dan mempublikasikannya.

Dan perlu diketahui oleh Bapak Jefry Riwo Kore sebagai Walikota Kupang sekaligus pemegang saham Bank NTT bahwa dasar kami untuk mengawal kasus dugaan Korupsi pembelian MTN PT. Sun Prima Nusantra adalah LHP BPK Nomor: 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 Tanggal: 14 Januari 2020. Baru membuka daftar isi LHP BPK ini saja kita sudah bisa membaca: “Pembelian Medium Term Notes (MTN) PT SNP Tanpa Didahului dengan Due Diligence dan Berpotensi Merugikan PT Bank NTT Senilai Rp50.000.000.000,00 dan Potensi Pendapatan Kupon yang Tidak Diterima Senilai Rp10.500.000.000,00”.

Harusnya sebagai kepala daerah sekaligus pemegang saham Bank NTT, berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan berkoodinasi dengan BPK terkait temuan ini dan meminta audit lebih lanjut untuk memastikan jumlah kerugian keuangan negara serta memproses hukum terkait potensi kerugian yang dialami oleh Bank NTT. Apabila dihitung dengan Potensi Pendapatan Kupon yang Tidak Diterima Senilai Rp10.500.000.000,00, maka total potensi kerugian yang dialami Bank NTT kurang lebih sekitar Rp 250 miliar

Mari kita mengkaji dan menganalisa lebih jauh pernyataan Jefri Riwu Kore. Mengutip pernyataan resmi Pemegang Saham Bank NTT melalui Walikota Kupang, Jefry Riwu Kore setidaknya ada beberapa hal yang perlu diteliti lebih jauh karena diduga pertanyaan tersebut mengandung hoax yaitu:
“Bukan punya kerugian negara, bukan bagian dari situ. Karena kita juga tahu bahwa sebelumnya Bank NTT sudah dapat Rp 500 miliar dari pembelian MTN,” tegas Jefri Riwu Kore, Kamis (17/3/2022). Selain itu, menurut Jefri Riwu Kore, bukan hanya Bank NTT yang mengalami kerugian namun ada bank lainnya seperti BCA dan Mandiri. Merujuk pada LHP BPK Nomor: 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 Tanggal: 14 Januari 2020 Halaman 2 tertulis:

Dasar Kesimpulan

Hasil pemeriksaan kepatuhan atas pengelolaan dana pihak ketiga dan penyaluran kredit komersial, menengah dan korporasi menunjukkan permasalahan yang material antara lain yaitu:
Sebagaimana diungkapkan dalam Hasil Pemeriksaan 3.1.1., PT Bank NTT pada tahun 2018 melakukan penempatan dana dalam bentuk pembelian Medium Term Notes (MTN) PT SNP senilai Rp50.000.000.000,00 dengan jangka waktu 24 bulan dan nilai kupon 10,50% berpotensi merugikan PT Bank NTT. Investasi pembelian MTN tersebut dilakukan tanpa didahului due diligence dan hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN. Pembelian MTN tidak masuk dalam rencana bisnis PT Bank NTT tahun 2018 dan tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT SNP pada SLIK OJK. Pembelian MTN PT SNP oleh PT Bank NTT mengalami gagal bayar dan saat ini sedang dilakukan proses PKPU. Hal ini mengakibatkan pembelian MTN senilai Rp50.000.000.000,00 berpotensi merugikan PT Bank NTT dan potensi pendapatan yang hilang atas coupon rate senilai Rp10.500.000.000,00.

Mengutip LHP tersebut telah sangat jelas dan tidak terbantahkan lagi bahwa Pembelian MTN PT SNP oleh bank NTT MENGALAMI GAGAL BAYAR dan saat ini sedang dilakukan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Hal ini mengakibatkan pembelian senilai Rp. 50.000.000.000,00 berpotensi merugikan PT. Bank NTT dan berpotensi pendapatan yang hilang atas coupon rate senilai Rp. 10.500.000,00. Total potensi kerugian akibat pembelian pembelian MTN adalah RP.60.500.000.000,00. Temuan dalam LHP BPK ini sesungguhnya telah sangat jelas membantah penjelasan Walikota Kupang bahwa, “Bank NTT sudah dapat Rp 500 miliar dari pembelian MTN.” atau apakah ada pembelian MTN dari perusahaan selain PT. SNP oleh bank NTT yang membuat bank NTT mendapatkan Rp 500 miliar? Rp 500 M dari MTN yang mana? Patut kita tunggu jawaban dari Bapak Walikota Kupang, Jefri Riwu Kore dengan bukti atau data yang sah dan meyakinkan seluruh masyarakat NTT. Apabila Jefry Riwu Kore tidak dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan terkait pernyataannya, “kita juga tahu bahwa sebelumnya Bank NTT sudah dapat Rp 500 miliar dari pembelian MTN”, maka ada indikasi diduga kuat Jefry melakukan hoax

Selain itu, menurut Jefri Riwu Kore, bukan hanya Bank NTT yang mengalami kerugian namun ada bank lainnya seperti BCA dan Mandiri. Kasus ini pun sebut Jefri, sudah dilaporkan ke aparat penegak hukum (APH) yakni Kejati NTT dan dari hasil penyelidikan awal tidak ditemukan aliran dana ke rekening direksi atau oknum-oknum tertentu demi mendapatkan keuntungan. “Kemudian kawan-kawan ingin supaya dijadikan sebagai kasus korupsi. Ngak boleh. Kita (pemegang saham Red) harus klarifikasi bahwa ini bukan kasus korupsi. Dan pemegang saham sudah mengakui itu,” jelas Jefri.

“Kalau memang pemegang saham keberatan maka pemegang saham sudah minta untuk itu diproses. Khan begitu. Jadi kita tekankan lagi supaya jangan sampai orang di luar sana seolah-olah kita pemegang saham atau pak gub (Gubernur NTT Red) salah,” tegas Jefri mengutip pernyataannya pada forum RUPS Bank NTT di Labuan Bajo.

Perlu diingat dan diperhatikan secara serius, terlibatnya Jefry Riwu Kore dalam RUPS hanya karena Beliau sekarang memegang Jabatan (politik) sebagai walikota Kupang. Secara pribadi, Jefry tidak memiliki saham Bank NTT. Terkait hal ini, perlu ditegaskan lebih lanjut bahwa Pemerintah Kota Kupang melakukan pernyertaan modal pada Bank NTT bersumber dari dana APBD Kota Kupang, Oleh karena itu, Pernyataan Walikota Kupang ini sangat tidak tepat karena posisinya sebagai pemegang saham dan kepala daerah yang bukannya membela kepentingan rakyat dan Negara tetapi terkesan ‘membela’ terduga pelaku kejahatan yang telah merugikan rakyat dan perekonomian, padahal pada saat yang sama proses hukum sedang berjalan oleh Kejaksaan Tinggi NTT

Klarifikasi Walikota Kupang bahwa ini bukan kasus korupsi sangat premature dan tidak berdasar karena terkait kasus MTN ini, ada indikasi dugaan tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi sudah terang benderang melalui temuan LHP BPK, sebagaimana merujuk pada Pasal 2 Undang-undang no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Jadi, Pernyataan Walikota bahwa “Kita (pemegang saham Red) harus klarifikasi bahwa ini bukan kasus korupsi. Dan pemegang saham sudah mengakui itu,” jelas Jefri, tidak berdasar, telah melangkahi dan mengabaikan proses hukum yang masih berjalan. RUPS tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sesuatu hal dinyatakan atau/dan diguga ada tindak pidana korupsi atau tidak. Ada tidaknya kasus korupsi dalam masalah pembelian MTN tidak bisa melalui klarifikasi dan pengakuan pemegang saham dalam RUPS. Yang berwenang untuk memiliki kewenangan untuk menyatakan sesuatu dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi adalah Aparat Penegak Hukum dan terkait status hukum sesuatu hal dinyakan sebagai tindak pidana korupsi adalah melalui keputusan pengadilan. Pernyataan Jefry Riwu Kore ini bermasalah dan diduga ada indikasi kuat adanya hoax.

Sampai hari ini, Aparat Penegak Hukum, dalam hal ini Kejaksaan Tinggi NTT masih berproses dan memproses hukum adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pembelian MTN. oleh karena itu, seharusnya para kepala daerah di NTT yang mana sekaligus menjadi pemegang saham PT. Bank NTT mendukung proses hukum ini sampai selesai sehingga kebenaran dapat terungkap, apalagi kasus ini menyangkut uang Negara dan rakyat.

Pernyataan Walikota “Kalau memang pemegang saham keberatan maka pemegang saham sudah minta untuk itu diproses. Khan begitu.
Perlu dan tetap harus dingat oleh Bapak Jefry Riwu Kore bahwa PT. Bank NTT adalah BUMD dan bukan perusahaan swasta. Penyertaan Modal pada Bank NTT bersumber dari APBD. Apabila ada indikasi dan dugaan korupsi di Bank NTT, setiap warga negara Indonesia berhak untuk memberikan pengaduan dan/ atau laporan kepada Aparat Penegak Hukum. Pernyataan Jefry Riwu Kore di atas bermasalah karena Jefry sedang membangun dua logika yang fatal yaitu
Bahwa: Hanya dan hanya jika melalui adanya kesepakatan pemegang saham dalam RUPS, sebuah kejadian pada Bank NTT dinyatakan sebagai tindak korupsi atau tidak (kasus MTN dinyatakan sebagai tindakan korupsi atau tidak)
Bahwa: Hanya dan hanya jika melalui adanya kesepakatan pemegang saham dalam RUPS, sebuah kejadian pada Bank NTT dapat diproses hukum atau tidak (Kasus MTN dapat diproses secara hukum atau tidak.

Logika dan argumentasi Jefry Riwu Kore ini fatal karena justru logika dan argumentasi yang sedang dibangun oleh Jefry dalam pernyataannya justru bertentangan dengan hukum dan aturan yang berlaku. Dan bisa jadi ada dugaan kuat, logika seperti inilah yang dibangun oleh kepala daerah sebagai pemenang saham Bank NTT. Untuk itu kita akan membuat perbandingan dengan mengajukan pertanyaan bagaimana dengan kasus–kasus lain yang sudah menjadi temuan BPK dan telah mendapat keputusan tetap Pengadilan?

Sebagai Contoh: Pada pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Kupang Nomor 31/Pid.Sus-TPK/2020/PN Kpg terhadap terdakwa Didakus Leba yang menyebutkan dengan sangat jelas bahwa Saksi Benny R. Pellu dan Saksi Absalom Sine sudah seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap penyimpangan yang terjadi dalam pemberian kredit kepada 7 (debitur) di PT. Bank NTT Cabang Surabaya tetapi indikasi kuat Pemegang Saham tidak pernah menyerahkan dan/atau meminta kasus ini untuk diproses lebih lanjut oleh Aparat Penegak Hukum(APH), padalah sudah sangat jelas telah merugikan uang rakyat dan negara ratusan milyar. Bukannya yang bertanggung jawab (Absalom Sine/Direktur Pemasaran Kredit) yang diberhentikan malah Direktur Utama/Izhak Eduard yang menjabat waktu itu yang menjadi “korban” diberhentikan dari jabatannya.

Apabila dikaji lebih jauh kejadian diatas membenarkan Logika dan argumentasi Jefry Riwu Kore, bahwa Hanya dan hanya jika melalui adanya kesepakatan pemegang saham dalam RUPS, sebuah kejadian pada Bank NTT dapat diproses hukum.
Logika dan argumentasi fatal yang dibangun oleh Jefry ini justu diprediksi akan menyebabkan terulang lagi kejadian tidak tuntasnya persoalan atau masalah hukum yang terjadi di Bank NTT. Masyarakat NTT tidak boleh terjebak dengan logika dan argumentasi semacam ini. Kita belum tahu secara pasti, apa faedahnya seorang Jefry Riwu Kore membangun Logika dan argumentasi fatal seperti ini? Oleh karena itu, Kasus dugaan korupsi pembelian MTN ini harus dikawal sampai tuntas.

Penggiringan opini masyarakat dengan membalikan fakta-fakta hukum diduga telah terjadi dalam kasus Bank NTT oleh Pemegang Saham melalui hasil RUPS. Pernyataan Jefri Riwu Kore, sebagai kepala daerah sekaligus pemegang saham, PT. Bank NTT, dapat diduga dan/atau dinilai sebagai upaya untuk menggiring opini masyarakat NTT. Penggiringan opini publik ini mengindikasikan dugaan adanya langkah atau upaya politis untuk menghentikan proses hukum kasus MTN. Dugaan adanya upaya mengedepankan langkah-langkah politis pada RUPS untuk menyelesaikan kasus dugaan korupsi pembelian MTN dibanding langkah-langkah atau upaya hukum memunculkan beberapa pertanyaan antara lain, apa kepentingan politik seorang Jefry Riwu Kore sehingga “berani pasang badan” untuk kasus dugaan korupsi pembelian MTN oleh bank NTT? Ataukah kita dapat bertanya lebih lanjut, kepentingan politik siapakah yg sedang diusahakan atau dilindungi oleh Jefry Riwu Kore dengan upaya “berani pasang badan”? Semoga seiring berjalannya waktu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dapat tersingkap.

Masyarakat NTT harus terus mengawal dan mengawasi setiap proses hukum terhadap dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah agar tetap sesuai dengan ketentuan hukum, termasuk dalam hal ini kasus dugaan korupsi pembelian MTN PT. Sun Prima Nusantara oleh Bank NTT sedang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi NTT. Hanya dengan hati nurani yang bersih, kejujuran dan integritas serta motivasi yang tuluslah uang rakyat dan Negara dapat diselamatkan sehingga rakyat dapat keluar dari kemiskinan sambil mengingat kata bijak “Jangan sesat! Allah tidak bisa dipermainkan. Karena apa yang ditabur, itu juga yang akan dituainya.”

Oleh Yohanes Hegon Kelen
Ketua Gerakan Republik Anti Korupsi/GRAK